Saat ini tengah terjadi ”commodity supercycle” atau kenaikan spektakuler harga komoditas global yang pada hakikatnya adalah dampak dari lebih cepatnya pertumbuhan permintaan ketimbang suplai yang terjadi selama dua dasawarsa terakhir. Indonesia, sebagai bagian dari perekonomian global, tak ayal terimbas situasi ini.Sebagai negara yang kaya sumber daya alam, sebenarnya Indonesia berpeluang mengambil keuntungan dari fenomena ini. Sayangnya yang terjadi justru perekonomian Indonesia lebih banyak tertekan karena kegagalan mengantisipasi dan membuat kebijakan yang tepat. Pertanyaannya, mampukah bangsa ini membalikkan keadaan dan mengambil manfaat sebesar-besarnya dari kenaikan harga energi dan pangan global?
Harga pangan dan energi global melonjak drastis setidaknya dalam dua tahun terakhir. Bahkan, harga beras di pasar internasional naik lebih dari 200 persen. Situasi serupa juga terjadi pada energi. Minyak bumi, contohnya, telah menyentuh 147 dollar AS per barrel.
Kenaikan harga komoditas dipicu oleh meningkatnya permintaan akibat pertumbuhan ekonomi dunia yang pesat, terutama di China dan India.
Namun, permintaan pangan dan energi juga dipicu oleh hal lain yang tidak bersifat fundamental, seperti permintaan tambahan stok akibat meningkatnya ketidakpastian suplai yang dipicu oleh bencana alam dan situasi politik serta dijadikannya komoditas bersangkutan sebagai obyek spekulasi menyusul ambruknya pasar finansial global dalam setahun terakhir.
”Dana yang sebelumnya bermain di pasar finansial yang jumlahnya sangat besar mencari obyek investasi atau obyek spekulasi baru,” kata Gubernur Bank Indonesia Boediono saat menjadi pembicara kunci dalam Sidang Pleno XIII dan Seminar Nasional Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Kamis (17/7) di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Akibat kenaikan harga minyak bumi, menurut Dirjen Tanaman Pangan Deptan Sutarto Alimoeso, pangan dan energi berubah menjadi dua komoditas yang saling berkompetisi dalam penyediaannya. Terjadi proses substitusi dari pangan untuk energi, biofuels mengganti fossil fuels. Sebagai contoh, AS menggunakan sekitar 25 juta ton jagung untuk produksi bioenergi.
Khusus untuk beras, selain memang terjadi kenaikan permintaan, melambungnya harga juga disebabkan adanya kepanikan di negara-negara importir dan eksportir beras.
Indonesia sendiri mulai terkena imbas perkembangan harga pangan global pada pertengahan 2007, dimulai dengan minyak goreng dan terigu. Minyak goreng terkena imbas langsung dari peningkatan harga minyak kelapa sawit mentah.
Di sektor energi, kenaikan harga minyak dunia telah membuat pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak dalam negeri untuk menyelamatkan anggaran negara. Di segi moneter, Bank Indonesia harus menaikkan suku bunga untuk menekan lonjakan inflasi.
Keterpurukan di sektor energi tak terlepas dari dominannya kebutuhan minyak bumi, gas bumi, dan batu bara sebagai sumber energi ketimbang listrik tenaga air, panas bumi, dan energi terbarukan. Kontribusi migas dan batu bara mencapai 95 persen dari total kebutuhan energi. Padahal, produksi minyak bumi cenderung turun sehingga Indonesia terpaksa mengimpor komoditas ini. ”Sejak tahun 1996 gejala penurunan, terutama di minyak bumi, sudah terlihat dan makin drastis terlihat sejak tahun 2000. Pada tahun 2007, lifting hanya sekitar 904.411 barrel per hari,” kata pengamat perminyakan, Kurtubi.
Meskipun di sisi pangan, produksi beras, gula, dan jagung Indonesia masih relatif baik, kenaikan harga membuat subsidi pangan membengkak.
Subsidi pangan pada tahun 2008 diperkirakan mencapai Rp 12 triliun, padahal anggaran dalam APBN-P 2008 hanya Rp 8,6 triliun. Subsidi pupuk diperkirakan juga membengkak dari Rp 7,8 triliun pada APBN-P 2008 menjadi Rp 15,2 triliun.
Situasi lebih parah terjadi pada energi. Sampai Juni 2008, realisasi subsidi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar